Siapa Ingin Merdeka Harus Bersedia Dipenjara, Bagian II | Ulas Bukuku
Penggalan hidup Tan Malaka di daratan Tiongkok agaknya menjadi yang terpanjang sehingga boleh dikatakan menjadi rumah kedua.
Lolos dari kejaran polisi di pelabuhan, Tan singgah di sebuah desa hingga pada 1929 ia menuju Shanghai. Muncul nama "Ossorio" dan "Ong Song Lee" (dengan banyak variannya) sebagai nama samaran Tan Malaka. Pergerakan yang dilakukan oleh Jepang membuatnya berpindah lagi, menuju India (1932). Sayang, ketika berlabuh di Hong Kong, Tan tertangkap dan ditahan beberapa waktu. Setelah interogasi panjang, ia dikembalikan ke Amoy. Tan kemudian pergi menuju desa Iwe, tempat kenalannya tinggal. Desa Iwe menjadi tempat Tan memulihkan penyakit yang selama ini ia derita. Tan yang semula cukup skeptis dengan upaya-upaya 'tradisional' yang menurutnya kurang logis itu mulai memperoleh kesembuhan. Salah satu resep yang saya ingat berupa masakan berbahan dasar bebek dengan berbagai herba dan harus Tan makan teratur.
Dari Amoy Tan melihat bagaimana penindasan dilakukan oleh pendatang terhadap pribumi. Penindasan yang muncul secara "halus" dengan pendekatan memberikan kesempatan pada pihak sekutu membuat regulasi sendiri di wilayah mereka.
Singkat cerita karena serangan Jepang mulai meluas, Tan dipaksa terus bergeser. Usahanya membuat kursus di sana akhirnya juga harus ditutup. Tan terdampar di Singapura. Dengan keahliannya dalam pelarian dan bertahan hidup, Tan Malaka menjadi guru di Singapura. Kehidupannya membaik sampai invasi Jepang menyusulnya. Lagi-lagi Tan harus lari. Tujuannya sekarang kembali ke Indonesia (1940-an). Dalam segala pelariaannya pula banyak buku yang harus ia relakan tak dapat terus dibawa.
Setibanya di Sumatera, nama Tan Malaka sudah santer terdengar menggerakkan rakyat untuk membantu program Jepang. Rupanya ini propaganda yang menyeret namanya dengan sosok Tan palsu. Tan Malaka kian waspada, bahkan hanya untuk sekadar mampir ke kampung halaman.
Setelah menyusuri pulau Sumatera, Tan Malaka menyebrang ke Jawa. Mulai dari sini Tan Malaka menulis kembali, Madilog dan ASLIA dengan segala keterbatasan. Ia dinggal di daerah Rawajati - Kalibata. Berkat rutinitasnya berkunjung ke perpustakaan, Tan berkesempatan mendapat pekerjaan di pabrik arang Bajah. Menyandang nama Ilyas Hussein, karir seorang Tan Malaka perlahan mulai meningkat. Ia memperoleh posisi mengurusi ribuan romusha dan rakyat murba Bajah. Pekerjaan Tan tak serta merta menghalangi langkahnya memperjuangkan kemerdekaan. Masih dengan identitas barunya, Tan selalu mengikuti perkmbangan dan mencoba ikut terlibat. Bahkan, menurut beberapa literatur, Tan Malaka menyaksikan proklamasi Indonesia dengan identitasnya sebagai Ilyas Hussein.
"Demikianlah akhirnya pada permulaan bulan Agustus saya menuju ke arah Republik Indonesia bukan lagi dengan di atas kertas, di luar negeri, seperti lebih daripada dua puluh tahun lampau melainkan dengan kedua kaki di atas tanah Indonesia sendiri"
Paragraf penutup dari otobiografi Tan Malaka yang sangat apik. Bagi siapapun yang membaca kisahnya lalu menemukan paragraf ini sebagai penutup, saya berani menjamin ada nyala baru di dalam tubuhnya.
