Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan | Ulas Bukuku
Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba mengulas salah satu buku yang baru saya tamatkan setelah 12 tahun. Ada sekurang-kurangnya dua belas seri yang saya baca dari buku dengan judul Pendidikan Pancasila dan Kewargenaraan ini. Tidak tanggung-tanggung, saya mendalami buku ini dibantu banyak mentor. Bu Ika, Bu Wuri, Bu Frensi, Bu Sri Ismarini, Bu Ch. Tri Lestari, Bu Trining, dan banyak lagi. Belum lagi masih ada bonus track yang berjudul Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Bela Negara.
Laiknya karya sastra lain yang membangkitkan imaji pembacanya. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menyajikan bentuk kehidupan sebuah negara demokrasi yang ideal dengan Trias Politica. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Warga negara di dalamnya digambarkan hidup dengan sejahtera, tanpa penindasan, tidak kenal diskriminasi, dan jauh dari ketidak-adilan. Konon hukum di negara itu dapat berdiri tegak. Korupsi adalah barang hina-dina. Kolusi dan nepotisme apalagi. Semua serba kecakapan dan keterampilan.
Saya teringat kisah Bu Ch. (begitu kami, para siswa, biasa memanggil beliau) saat menjelaskan salah satu seri dengan pengalaman pribadinya. Satu waktu, beliau pernah berkesempatan menginjakkan kaki di markas sebuah komisi yang bertugas memberantas korupsi di negara itu. Sebagai orang Jawa yang lekat dengan ra penakan, Bu Ch. sudah menyiapkan oleh-oleh dari Jogja. Nahasnya, buah tangan itu ditolak. Alasannya benar-benar seperti yang kami baca dalam buku, yang kurang lebih berbunyi, "apapun bentuknya, pemberian terhadap aparat sipil negara dapat tergolong dalam gratifikasi atau suap".
Pendalaman yang dilakukan oleh mentor-mentor tidak hanya sekadar menamatkan tiap seri lalu mendengarkan ceramah mereka, tetapi juga ada tes yang menanti. Beberapa kali kami harus mengerjakan latihan soal dan beberapa ujian untuk memastikan pemahanan kami terhadap keseluruhan isi buku. Sebelum dinyatakan lulus, maka kami tidak diperkenankan lanjut ke seri berikutnya.
Begitu pula dalam Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Bela Negara, warga negara dan rakyatnya dapat hidup dengan gegap gempita. Asas tunggal dalam negara mereka yang terdiri dari lima sila benar-benar mereka hayati dan menyatu dengan laku hidup. Perbedaan kelas, ras, kepercayaan, profesi, suku, dan hal-hal lain yang berpotensi memecah belah bangsa besar sekalipun justru menguatkan mereka.
Waktu berjalan, kami di sini bertambah tua dan hanya dapat menahan iri. Negara kami berbeda. Hukum juga tegak, amat tegak kiranya sampai mereka yang tidak berdaya susah memetik manfaatnya. Korupsi merajalela. Sudah pun begitu kondisinya, presiden kami masih saja terus berjanji menumpas sampai ke akarnya. Saat kampanye, boleh lah dia berseru, "Hidup rakyat!" Tetapi, setelah berkuasa seruannya berganti, "Hidup Widodo!" Memuja presiden sebelumnya yang dia akui sudah membantu dan menitipkan anak sulung sebagai wakilnya.
Berbeda pendapat adalah dosa. Ajaran ini diwariskan turun-temurun dari zaman kerajaan, penjajahan, dan orde sekarang. Kami juga punya istilah demokrasi, trias politica, hak asasi manusia, penegak hukum, hingga militer. Namun, terapannya jauh beda dengan isi buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang kami baca. Kami yang merasa tak pantas dapat bahan bakar subsidi, masih saja dibohongi. Negara kami penyedia sawit dunia. Masih sempat-sempat minyak goreng langka. Itu pun kembali lagi kami dibohongi. Salah satu menteri mendaftar sidang doktoral di universitas ternama. Lagi-lagi karyanya membohongi. Terlalu banyak kebohongan. Belum lagi bicara HAM. Jika dunia perlu contoh buruk bagaimana negara berjalan, mungkin negara kami masuk dalam nominasi.
Lantas, kenapa kami dulu diwajibkan menamatkannya jika hanya menambah sesak hati saat melihat negri sendiri?
