DILARANG GONDRONG! | Ulas Bukuku

    Ketertarikan terhadap buku ini muncul karena kondisi saya yang tengah gondrong-gondrongnya. Selama itu pula banyak asosiasi yang orang lain sematkan pada saya, seperti gondrong doang ga nyopet, Pak Farid (vokalis salah satu band yang nyaris rock), aktivis, intel, dan banyak lagi panggilan yang identik dengan jalanan. 
    Aria menuliskan dengan apik bagaimana totaliternya Orde Baru sampai ruang privat warganya, termasuk gaya rambut. Bahkan, efeknya masih ada sampai sekarang. Stigma masyarakat terhadap pria gondrong masih saja miring seperti yang saya sebut sebelumnya. Tak terkecuali pandangan beberapa dosen yang notabene seorang civitas akademika, masih saja menganggap gondrong melanggar norma kesopanan di ruang kelas. Bukankah leluhur bangsa ini justru hidup dengan rambut panjang tak terbatas pada gender tertentu? Lantas siapa yang membawa rambut pendek pada pria sebagai norma kesopanan yang baru?
    Pertanyaan terbesarnya, khususnya bagi saya, adalah mengapa perihal gondrong saja sampai seharam itu di mata rezim?
    Aria mengulik sejarah pencekalan rambut gondrong ini sampai menmukan hal-hal lucu dan cenderung konyol. Dalam temuannya, rezim Orde Baru sampai mengadakan razia rambut dan membentuk Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong). Tidak berhenti di situ saja, rezim juga menyebarkan propagandanya melalui surat kabar dan media lain. Citra orang gondrong benar-benar dibunuh, jatuh sejatuh-jatuhnya.
    Terima kasih Aria Wiratma dan penerbit Marjin Kiri.

Postingan populer dari blog ini

MUKADIMAH

Spes Qua, Spes Quae | Ulas Bukuku

Runa dari Sumba | Ulas Bukuku