NAMAKU ALAM | Ulas Bukuku

Satu lagi buku karya Leila S. Chudori yang berhasil saya baca karena diberi pinjam. Masih satu univers dengan novel Pulang yang mengisahkan kehidupan para eksil politik bertajuk dan pernah saya ulas pertengahan bulan Maret. Pun, Segara Alam setidaknya sudah memiliki satu babak dari bagian novel Pulang. Sempat tebersit pertenyaan yang membuat saya tidak bernafsu membaca, mengapa sosok Segara Alam masih harus diceritakan lebih dalam? Namun, satu alasan yang membuat saya mulai membuka sampul buku itu adalah pertanyaan tentang bagaimana Leila akan menceritakan sosok Alam. Bagaimana membuat pembaca yang sudah mengenal Alam tidak begitu saja bosan sekaligus memperkenalkan Alam secara rinci kepada pembaca baru?

Selain caranya membangun tokoh dalam novel, Leila selalu saja memberikan refrensi sastra yang begitu intens. Epos Mahabharata tidak pernah absen dari karyanya, penulis-penulis beken, film-film populer, dan musik-musik kondang juga turut bertebaran di tulisannya. Makin banyak daftar buku yang harus saya baca dan musik lawas yang harus saya dengar hanya dari satu judul karya Leila. Masalah musik itu bisa dengan mudah diatasi oleh Spotify, YouTube, dan platform lain. Namun, terkait film dan buku perlu sumber daya yang lebih banyak seperti waktu dan uang.

Kembali lagi pada novel ini. Kehidupan Segara Alam diceritakan secara (tidak) runut dari dia kecil sampai masa remajanya di SMA. Di luar statusnya sebagai anak "pengkhianat negara", sungguh mujur sosoknya dikarunai fisik dan otak di atas rata-rata. Beruntunglah anak-anak SMP belum boleh membaca novel ini. Pasti siswa-siswa bercelana biru gelap itu ikut gelap mata mengetahui petualangan Alam dengan Rena, teman Yu Bulan. Aih, saya pun iri. Belum lagi saat Alam sekolah di SMA Putra Nusa hingga lupa merunduk. Begitu kepalanya nongol, bak magnet bagi kaum hawa generasinya. 

Lebih dalam dari kisah seorang Segara Alam, kita akan mencicipi kehidupan era Orde Baru -walaupun hari ini menu itu telah tersaji kembali di atas meja. Anak-anak dan sanak keluarga tidak hanya mewarisi harta benda, tetapi juga status ayah dan saudara. Status yang penuh dosa di mata kekuasaan. Tanpa tahu apa kesalahan yang telah diperbuat. Mereka terus dipaksa terbenam dalam cacian, kecaman, dan pandangan hina. Seumur hidup. Seumur hidup Orba yang sudah bangkit kembali. Fakk!!

Bagi mereka yang mencari kebenaran juga tak luput dari tekanan. Selama masih berdiri di atas tanah kekuasaan, semua-muanya dalam kontrol. Fakta agaknya setara sampah bagi penguasa. Fakta akan dipilah, yang sesuai akan dipoles, dipakai kembali dan yang mengganjal akan disetip, hilang dari peradaban. 

***

Yogyakarta, 22 Maret 2025

    Aku tidak tahu kabar kalian sekarang, Bulik Mara atau Pakdhe Alam -mungkin seperti itu aku harus memanggil kalian. Tak terbayang kesedihan dan kemarahan kalian yang sudah melewati reformasi, yang berpulang memperjuangkan reformasi, serta simbah jika menyaksikan keadaan hari ini. Sudah beberapa bulan negri ini makin remuk redam. Warta berita tidak jauh dari kabar kebrobrokan baru yang selalu muncul setiap minggu.
    Puncaknya adalah dua hari lalu. TNI cepat atau lambat akan menguasai negri ini (lagi). Beberapa hari belakangan mereka yang mengaku mewakili rakyat, diam-diam bersekongkol ingin memperluas kekuasan tentara. Tapi, masih banyak masyarakat yang tidak peduli. Bahkan, mengolok-olok gerakan penolakan kami. Sempat muncul rasa enggan pada kami untuk berjuang. Kami malu mengakui itu.
-
    Oh, ya, kalian suka mengutip musik lawas. Refrensiku kali ini mungkin tidak kalian kenal, tapi persetan, kalian juga mengambil sesuka kalian. Salah satu lirik lagu Syarat dari FSTVLST lagi-lagi berkelebatan. Kalian harus coba dengarkan. Hanya butuh satu alasan untuk tetap bertahan. Begitu pesannya.
    Aku tidak ingin buru-buru menyusul Biru Laut dan simbah yang hilang tanpa peradilan. Bukan karena sekadar takut peluru menembus dada, tapi apa yang harus aku sampaikan pada mereka. Masih banyak rekomendasi buku dari mereka yang belum kubaca. Masih banyak kebenaran rumpang yang belum aku temukan.
 -
    Pagi itu kawan-kawan bergerak menuju kantor DPRD di Malioboro. Mungkin banyak kawan mahasiswa yang masih harus bekerja atau dicegat dosen di dalam kelas. Pagi sampai petang itu massa kami tak terlalu banyak. Hanya 150 sampai 200-an orang. Hampir saja agenda menduduki gedung sampai malam dan menginap itu sirna.
    Menjelang waktu berbuka kami adakan konsolidasi di tempat. Kami sepakat akan melanjutkan aksi dan mengajak massa lebih banyak. Alhamdulillah, upaya kami berbuah manis di tengah kondisi yang masam. Kawan-kawan mulai berdatangan. Halaman gedung DPRD mulai penuh. Pun juga dengan semangat kami.
    Aparat tak mau ketinggalan. Mereka juga berdatangan. Sedikit bentrokan sudah barang wajar, kan. Namun, kami berhasil dipukul mudur setelah larut malam. Hasilnya? Kami harus kembali lagi berjuang.

Postingan populer dari blog ini

MUKADIMAH

Spes Qua, Spes Quae | Ulas Bukuku

Runa dari Sumba | Ulas Bukuku