Siapa Ingin Merdeka Harus Bersedia Dipenjara, Bagian I | Ulas Bukuku
Bagian I
Buku ini merupakan salah satu buku yang saya punya dari event Patjarmerah. Sama seperti tahun sebelumnya, saya dapat buku ini juga dengan titip. Lumayan, harganya tidak sampai sepertiga harga normal.
Judul ulasan buku ini saya nukil dari kutipan Tan Malaka yang ada di cover karyanya "Dari Penjara ke Penjara" terbitan Narasi. Buku autobiografi ini merupakan buku pertama karya Ippie -begitu Tan Malaka dipanggil sewaktu menempuh studi di Belanda- yang saya baca. Sosoknya cukup menarik perhatian lantaran tak pernah disinggung di ruang-ruang kelas, tetapi kutipan karya-karyanya bertebaran begitu saja. Selanjutnya, akibat buku ini juga karya-karya sastra lama menjadi perlu saya baca kembali.
Mulanya kita akan diperkenalkan dengan pandangan hidup seorang Tan Malaka. Seperti yang banyak orang diskusikan dan tertuang pula dalam karya "Madilog"-nya, Tan menjelaskan bagaimana semesta bekerja dengan tesis-antitesis-sintesis, dialektika. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Marx, Engels, dan bagaimana lingkungan Minangkabau membesarkannya. Tan menuliskan kisah hidupnya dimulai dari masa studinya di Belanda. Setelah tuntas menuntut ilmu di tanah kelahiran, Tan muda dibantu sokongan masyarakatnya berangkat menuju Negri Kincir Angin dengan harapan bisa menjadi Guru Kepala. Tan harus beradaptasi dengan iklim Eropa, baik iklim lingkungan maupun iklim sosialnya. Selain kepiawaiannya dalam bermain bola, Tan memang dikenal dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata.
Singkat cerita, Tan kembali ke Nusantara. Ia berlabuh di Deli, mendirikan sekolah untuk anak-anak buruh perkebunan di sana. Setibanya di Semarang, Tan mendirikan Sekolah Sarekat Islam yang kemudian berkembang dengan pesat, menjamur bersama Sarekat Islam. Syahdan, Tan menerima penunjukan untuk menjadi ketua PKI karena pembesar-pembesar organisasi itu tengah melancong ke markas Komintern. Nahas, Tan harus tertangkap lalu diasingkan oleh pihak kolonial karena organisasi komunis yang dipimpinnya dinilai mengancam keberadaan Belanda (1922).
Babak baru kehidupan Tan Malaka menjadi seorang dalam pengasingan dan pelarian setelah penjara pertamanya. Ibrahim, nama Tan Malaka, diasingkan ke Kupang lalu diboyong ke Belanda. Kembalinya Tan Malaka ke Belanda disambut oleh Partai Komunis Belanda. Bahkan, seorang Tan Malaka hampir menjadi anggota parlemen setelah keikutsertaannya sebagai kandidat nomor urut ketiga dari partai itu.
Tanpa mempedulikan pemungutan suara di Belanda, Tan Malaka melanjutkan perjalannya ke Berlin, Jerman. Ia bertemu beberapa kawan seperjuangannya sebelum melanjutkan lagi pengembaraannya ke Moscow. Seorang Tan Malaka cukup mengguncangkan Kongres Komintern Dunia Keempat yang diselenggarakan di Moscow dengan pidatonya yang membawa gagasan kerja sama antara Komunis dan Pan Islam. Idenya didasari atas kondisi Asia, khususnya Indonesia, yang mayoritas menganut islam dan memang jaringan perlawanan yang terbentuk sudah kuat. Berbeda dengan kondisi di belahan bumi Eropa.
Tan melanjutkan lagi perjalanannya ke timur, Kanton, Tiongkok (1923). Gagasannya mengenai bentuk negara Indonesia lahir di negri ini, Naar de Republik Indonesia.
(1925) Tan diasingkan sampai ke Filipina, negri yang masih dianggapnya bagian Indonesia, dengan kemudian memiliki nama samaran Elias Fuentes dan Rivera. Dari pengasingannya, Tan masih dapat terhubung dengan sahabat-sahabat seperjuangannya untuk menyusun pergerakan di tanah air. Dari pengasingannya itu pula Tan Malaka menyaksikan bagaimana Dr. Jose Rizal, Andreas Bonifacio, dan kawan-kawan melakukan revolusi terhadap kedudukan Spanyol.
Tan juga sempat melipir ke Singapura (1926) dengan nama Hasan Gozali. Dari sini Tan menulis penolakannya terhadap pemberontakan PKI yang dianggapnya belum siap dengan judul "Aksi Massa". Bersama rekan-rekannya, Tan mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) buntut ketidak-sepakatannya dengan gerakan komunis di Indonesia. Sekembalinya Tan di Filipina, ia ditangkap dan diberangkatkan ke Amoy, Tiongkok. Selama pelayarannya di atas kapal, Tan berhasil merebut simpati awak kapal karena kedekatannya dengan Dr. Sun Yat Sen, pimpinan revolusi Tiongkok. Di pelabuhan tujuan, polisi sudah bersiap menangkap Tan untuk dikembalikan ke Hindia Belanda. Tapi rencana itu digagalkan, awak kapal menyembunyikan Tan sampai polisi-polisi itu bosan mencari.
Bersambung.... (bagian yang saya buat berbeda dengan pembagian dalam buku)
