Mie Ayam | Ulas Bukuku
Kekuatan kata "mie ayam" dalam memicu keputusan impulsif padaku sangat kuat bekerja. Selewat di beranda sosial media iklan tentang pre-order buku karya Brian Khrisna yang berjudul "Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati" berhasil memprovokasiku. Tanpa pikir panjang kucari lapak Gramedia lalu aku pesan buku itu. Tak berapa lama buku itu datang. Sementara terlantar karena buku-buku lain yang juga mendesak untuk dibaca.
Novel yang akhirnya dapat aku selesaikan dalam dua kali duduk ini berkisah tentang seorang pemuda yang berencana bunuh diri. Perasaan menjadi manusia yang tidak berguna mengguncang jiwa seseorang tidak peduli bagaimana bentuk fisiknya. Jalan ceritanya yang ringan dan secara keseluruhan aku nyaman membacanya. Seakan diajak depresi, tertawa, merenung, kembali depresi, dan tertawa lagi. Beberapa hal yang akhirnya menggangguku adalah tentang kulit lumpia yang dijadikan bungkus menenggak obatnya setelah beberapa minggu ditinggal (walaupun tidak perlu dipikirkan mengingat tujuannya untuk bunuh diri) dan kenapa mie ayam-nya justru tidak dimakan???? (bagiku itu justru sebuah penghinaan kepada Pram yang telah susah payah meramu warisan bapaknya dan mungkin berharap feedback dari "pelanggan" bapaknya itu).
Sekarang mari coba aku ceritakan ulang isi buku itu sesingkat-singkatnya. Dan tentu dengan usaha tanpa mengutip isinya karena harus minta izin si penulis terlebih dahulu.
Mulanya kita akan diperkenalkan dengan tokoh utama kita, Ale, seorang karyawan kantor yang depresi. Merasa tak dianggap ada oleh lingkungannya, mempunyai trauma sebagai korban bully di masa kecil, dan tidak mendapat dukungan emosional dari orang tua. Pada usia yang ke-27 Ale memutuskan bahwa hari ulang tahunnya ini adalah hari terakhir hidupnya.
Ale berencana mengakhiri hidupnya dengan cara OD obat yang dia dapat sepulang dari psikiaternya. Obat itu ia tuang, lalu dibungkus menggunakan kulit lumpia. Namun, ia perlu menunda dulu magnum opus-nya lantaran syarat untuk menenggak obatnya adalah setelah makan. Karena Ale berencana kembali kepada Tuhan dalam "kondisi terbaiknya", pagi itu juga ia datangi gerobak mie ayam tempat ia langganan untuk sarapan.
Sial.
Gerobaknya masih terbungkus terpal. Singkatnya, Ale datangi rumah Pak Jo, abang-abang penjual mie ayam, pagi itu juga. Ia bertekad harus makan mie ayam paling enak itu terlebih dahulu sebelum kematiannya. Naasnya, hari itu adalah hari pemakaman Pak Jo. Ale terpaksa ikut menjadi bagian dari pelayat. Bahkan, ia harus ikut mengangkat peti Pak Jo dan turun ke liang lahat karena kondisi fisiknya yang tinggi, besar, dan berwajah sangar. Sepulang dari pemakaman, Ale masih berniat menuntaskan hajatnya. Pram, anak Pak Jo, sebagai ungkapan terima kasihnya berjanji akan membuatkan Ale mie ayam itu esok pagi setelah bahan-bahannya terkumpul.
Terpaksa Ale harus menunda lagi. Malam itu Ale mampir ke warung. Ale duduk, merokok, dan menjadi korban salah tangkap dengan tuduhan sebagai kurir sabu. Ale masuk kantor polisi, dipukuli, mendekam di dalam sel beberapa hari. Esoknya ia bertemu dengan Murad, sosok yang berperawakan sama dengannya hanya saja lebih garang. Nampak benar aura preman dari Murad. Setelah beberapa hal terjadi di dalam jeruji besi, Ale sadar bahwa ia hanya korban salah tangkap untuk memenuhi syarat bisnis Murad yang harus menyetor lima kepala setiap tahun agar polisi tidak mengganggunya.
Terpaksa Ale harus menunda lagi. Malam itu Ale mampir ke warung. Ale duduk, merokok, dan menjadi korban salah tangkap dengan tuduhan sebagai kurir sabu. Ale masuk kantor polisi, dipukuli, mendekam di dalam sel beberapa hari. Esoknya ia bertemu dengan Murad, sosok yang berperawakan sama dengannya hanya saja lebih garang. Nampak benar aura preman dari Murad. Setelah beberapa hal terjadi di dalam jeruji besi, Ale sadar bahwa ia hanya korban salah tangkap untuk memenuhi syarat bisnis Murad yang harus menyetor lima kepala setiap tahun agar polisi tidak mengganggunya.
Keluar dari penjara, Ale direkrut Murat menjadi anak buahnya. Ironisnya Ale lebih merasa dimanusiakan dikampung preman itu. Perlahan rassa percaya diri Ale tumbuh. Suatu hari Ale diajak oleh Murad ke sebuah diskotik. Di sana Ale bertemu Juleha dan Mami Louis. Berkat obrolannya dengan kedua orang itu Ale menjadi mempunyai perspektif baru bahwa ada kehidupan yang ternyata mungkin lebih berat daripada yang selama ini Ale alami. Saat keluar hendak mencari angin segar, Ale bertemu dengan OB kantornya, Ucup.
Ucup tanpa pikir panjang menarik Ale untuk diajak pergi setelah mendengar bahwa Ale datang dibawa Murad, pulang ke rumahnya. Ale terkesan dengan kebaikan dan kepedulian Ucup. Dari Ucup juga Ale tahu bahwa orang-orang sebenarnya selalu memperhatikan dirinya dan mengingat kebaikannya. Paginya, Ale ikut dengan Ucup menjual bolu kukus di desa sebelah. Di sana Ale justru bertemu dengan seorang ibu yang sudah lama putus hubungan dengan anaknya, kisahnya mirip dengan nasib Ale.
Pertemuan Ale dengan penjual layang-layang, adik si Murad, penjual kerupuk yang buta, teman SMA yang masih mem-bully, dll. Semua itu terlalu capek kalau harus saya tulis. Singkatnya, Ale bertemu berbagai orang yang menyadarkannya tentang alasan kenapa harus hidup dan terus hidup.
Kiranya sekian. Matur nuwun....
