Postingan

Rolasan Sepuluh Malam Terakhir Ramadan

Gambar
  Rolasan adalah kata yang biasa dipakai para pekerja untuk istirahat dan makan siang yang merujuk pada waktu jam dua belas siang. Tulisan ini adalah upayaku untuk mendokumentasikan kegiatan sepuluh malam terakhir di masjid kami. Espesiali dari sisi kuliner. Hidangan yang disajikan untuk mengisi kembali tangki energi jamaah yang menghendaki hambayang sampai tengah malam, bahkan dini hari. Selamat membaca dan semoga kebaikan selalu berpihak pada mereka yang mengupayakannya. Kamis, 20 Maret 2025 Menu hari ini diprakasai oleh Mbok Yam, anaknya, & mantunya. Tak perlu diragukan lagi bahwa akan ada rambak yang turut eksis mengingat ketiganya keluarga juragan rambak. Seret. Satu paketnya terdiri dari nasi, semur yang ditelur, acar, kreni, jeruk, dan primadona kita, si rambak. Sayang, aku yang malam ini datang terlambat kebagian beberapa sisi nasi yang kami sebut mlethis . Bukan pera, tapi lebih ke kurang air. Kering. Syukurlah, hal itu tidak menghancurkan kenikmatan satu kotak penuh....

NAMAKU ALAM | Ulas Bukuku

Gambar
Satu lagi buku karya Leila S. Chudori yang berhasil saya baca karena diberi pinjam. Masih satu univers dengan novel Pulang  yang mengisahkan kehidupan para eksil politik bertajuk dan pernah saya ulas pertengahan bulan Maret. Pun, Segara Alam setidaknya sudah memiliki satu babak dari bagian novel Pulang . Sempat tebersit pertenyaan yang membuat saya tidak bernafsu membaca, mengapa sosok Segara Alam masih harus diceritakan lebih dalam? Namun, satu alasan yang membuat saya mulai membuka sampul buku itu adalah pertanyaan tentang bagaimana Leila akan menceritakan sosok Alam. Bagaimana membuat pembaca yang sudah mengenal Alam tidak begitu saja bosan sekaligus memperkenalkan Alam secara rinci kepada pembaca baru? Selain caranya membangun tokoh dalam novel, Leila selalu saja memberikan refrensi sastra yang begitu intens. Epos Mahabharata tidak pernah absen dari karyanya, penulis-penulis beken, film-film populer, dan musik-musik kondang juga turut bertebaran di tulisannya. Makin banyak...

Sepatu "Tempur" Warrior

Gambar
Sudah agak lama saya  ngidam  sepatu baru. Mungkin karena sudah lama saya pakai sepatu lungsuran dan iri melihat adik mempunyai sepatu baru. Sejak saat itu, justru timbul rasa jengkel setiap meliat (sekaligus memakai) sepatu bekas yang tidak hancur-hancur itu. Entahlah, kami punya budaya bahwa apa pun ada momennya. Atau lebih tepatnya harus ada alasan yang jelas. Tidak terkecuali perihal membeli sepatu baru. Sore hari sepulang dari mengunjungi galeri yang tengah mempersembahkan pameran di tengah kota Jogja, saya menyempatkan mampir ke sebuah toko sepatu di sekitar Simpang Lima Bejen. Kejadiannya sekitar lima atau empat tahun lalu. Saya tidak ingat dengan pasti, yang jelas waktu itu kami masih akrab dengan istilah-istilah pandemi. Oh iya, saya tidak sendiri. Seperti kunjungan-kunjungan ke galeri yang lain, saya selalu diajak oleh seorang kawan. Di toko kecil itu tanpa banyak basa-basi saya langsung meminta mas-mas yang jaga untuk mengambilkan sepatu, " Warrior sik Tristan, Mas!...