Postingan

PARABAN

 Paraban atau nama panggilan lumrah adanya dalam pergaulan. Biasanya sebuah panggilan berasal dari fisik, plesetan dari nama asli, kebiasaan, hingga profesi. Terlebih paraban ini umumnya berkonotasi negatif. Namun, keakraban tongkrongan justru sangat terlihat dari bagaimana satu sama lain memanggil dengan paraban ini. Tidak ada lagi halangan senioritas atau derajat lain. Suasana nampak cair dengan paraban. Tentu si pemilik paraban juga harus berdamai dulu dengan parabannya. Eko dipanggil kodok. Yuli dipanggil Yulek. Itu dua contoh paraban yang umum dipakai di kalangan orang Jawa. Namun, terlepas dari itu di kampung penulis dulu pernah hidup seorang legend pemberi paraban, Lik Surat namanya. Btw, Surat itu nama aslinya. Memang ada beberapa orang yang sejak lahir namanya lumayan unik, salah satunya beliau. Karir Lik Surat dalam memberi paraban sudah dimulai sejak era 70-an sampai 2010-an. Hampir semua orang tua kami yang hidup sejaman dan pernah bergaul dengannya mengaku bahwa beliau...

BAHASA SANDI WONG JOMBORAN

Gambar
  Dujul: Bahasa 'Sandi' Wong Jomboran dan Sekitarnya "Damang rudung?" tanya Alm. Pak Dukuh. Pertanyaan itu merupakan kalimat pertama yang dapat penulis ingat dengan jelas mengenai bahasa 'sandi' ini. Circa tahun 2016-2017 penulis mendengar kalimat itu. Entah sejak kapan sandi tersebut beredar, tapi sewaktu mendengar itu penulis sudah paham isi pertanyaannya. "Madang durung?" begitu maksudnya yang berarti ''Makan belum?'' dalam bahasa Indonesia. Siapa pencipta atau pionirnya masih belum penulis dalami. Bahasa sandi ini dituturkan sporadis begitu saja hingga saat ini. Biasa sandi ini digunakan oleh pemuda sewaktu membicarakan hal yang tabu terlebih ketika di sekitarnya ada orang tua atau anak-anak. Meskipun banyak orang tua atau anak-anak yang paham juga. Kami yang bertempat tinggal di Yogyakarta khususnya di pedukuhan Jomboran, kelurahan Gilangharjo tentu juga mengenal bahasa lain seperti basa walikan . Namun, bahasa sandi yang kami gu...

MERAWAT CITA-CITA

 Cita-Cita Wajar nampaknya jika seseorang berganti cita-cita. Apalagi bisa dibilang masih belia. Saya ingat pernah punya cita-cita menjadi seorang pilot, polisi, tentara, bahkan yang paling absurd pengen jadi pengusaha monopoli. Bukan monopoli layaknya VOC milik Belanda, melainkan sejenis permainan papan yang terkenal dengan "Kesempatan" dan "Dana Umum"-nya. Namanya juga anak-anak yang coba merawat harapan dengan refrensi yang ada. Tidak bisa dipungkiri semakin bertambah usia, bertambah realistis pula cita-cita. Banyak hal yang jadi pertimbangan. Menukil perbincangan di angkringan bahwa kecakapan saja belum tentu membuat seseorang bisa diterima kerja, harus ada "tanda terima kasih"-nya. Belum lagi perayaratan yang bermacam-macam. Agaknya lebih praktis syarat pesugihan.  Demo saja kalau begitu, lawan! Tapi tidak sesembarangan itu kawan. Salah-salah bisa dibawa ke pengadilan. Memang seperti lirik lagu Gas dari FSTVLST "Bagaimanapun juga, merawat cita-ci...