MERAWAT CITA-CITA

 Cita-Cita

Wajar nampaknya jika seseorang berganti cita-cita. Apalagi bisa dibilang masih belia. Saya ingat pernah punya cita-cita menjadi seorang pilot, polisi, tentara, bahkan yang paling absurd pengen jadi pengusaha monopoli. Bukan monopoli layaknya VOC milik Belanda, melainkan sejenis permainan papan yang terkenal dengan "Kesempatan" dan "Dana Umum"-nya. Namanya juga anak-anak yang coba merawat harapan dengan refrensi yang ada.

Tidak bisa dipungkiri semakin bertambah usia, bertambah realistis pula cita-cita. Banyak hal yang jadi pertimbangan. Menukil perbincangan di angkringan bahwa kecakapan saja belum tentu membuat seseorang bisa diterima kerja, harus ada "tanda terima kasih"-nya. Belum lagi perayaratan yang bermacam-macam. Agaknya lebih praktis syarat pesugihan. 

Demo saja kalau begitu, lawan! Tapi tidak sesembarangan itu kawan. Salah-salah bisa dibawa ke pengadilan. Memang seperti lirik lagu Gas dari FSTVLST "Bagaimanapun juga, merawat cita-cita tak akan semudah berkata-kata". Lantas cita-cita apa yang harus saya punya.

Untungnya tahun ini tengah dirayakan pesta demokrasi. Refrensi saya soal cita-cita dapat bertambah beberapa. Dari lima golongan yang disediakan sudah saya putuskan untuk mengincar kursi presiden. Hanya saja bapak saya bukan presiden yang bisa cawe-cawe agar saya bisa jadi bupati/wali kota diumur 25. Agar selanjutnya bisa jadi presiden diusia 27 tahun. Cara satu-satunya adalah ngincer posisi sebagai mantu presiden dahulu.

Yap, kita tunggu bagaimana waktu membawa saya pada posisi itu. Walau rekam jejak saya tentu teramat receh untuk kursi tersebut. Tolong jangan dianggap bercanda mkmkmk! 

Postingan populer dari blog ini

MUKADIMAH

Spes Qua, Spes Quae | Ulas Bukuku

Runa dari Sumba | Ulas Bukuku